“Hadapi dulu saya, dan cucu saya!” teriak Bu Eti ke barisan polisi khusus kereta api (Polsuska) dan operator ekskavator yang sudah siap meratakan rumahnya. Ini adalah realita menyedihkan bagi 25 keluarga di Jalan Anyer Dalam, Bandung, yang terancam digusur oleh PT KAI untuk pembangunan Laswi City Heritage. PT KAI bersama dengan PT Wika bekerja sama dalam pembangunan area yang didesain sebagai pusat perbelanjaan, hiburan, serta perumahan yang diharapkan dapat mendongkrak perekonomian Kota Bandung. Tapi, apa harga yang harus dibayar?
Laswi City Heritage, Siapa yang Punya?
Rencana pembangunan Laswi City Heritage, proyek ambisius PT Wijaya Karya, atau Wika dan PT KAI pertama didengar oleh warga Anyer Dalam pada tahun 2018. “Pembangunan akan dilakukan 10 meter dari pemukiman warga yang sudah ada,” para perwakilan PT Wika menjelaskan dalam sosialisasi bersama warga. Bagi Pak Dindin Nuriadin, koordinator aliansi warga Anyer Dalam, kesepakatan itu terdengar tidak bermasalah di awal. Namun, janji tersebut tidak bertahan lama. Tiga tahun setelah PT Wika pertama datang ke Anyer Dalam dengan janji tersebut, PT KAI mendatangi warga.
Pada tahun 2021, PT KAI menyampaikan bahwa akan ada 25 rumah warga yang digusur, untuk membangun jalan alternatif ke Laswi City Heritage dari arah Jalan Jakarta. Klaim PT KAI, mereka memiliki hak atas tanah yang didiami warga Anyer Dalam, sehingga 25 keluarga tersebut harus pindah. PT KAI memberi nilai ganti rugi pembongkaran sebanyak Rp200.000 untuk tanah semi-permanen, dan Rp250.000 untuk tanah permanen. Bu Eti, salah satu warga Anyer Dalam mengatakan, “Ongkos bongkar 250 mana cukup untuk ganti rugi, da untuk ngontrak setahun pun gak akan cukup.”
Tidak tinggal diam, warga berkali-kali mengadakan mediasi dengan PT KAI. Berkali-kali pula, warga menagih bukti kepemilikan tanah ke PT KAI, yang tidak kunjung dibuktikan dari tahun 2021 hingga 2022. Hingga pada 2 Juni kemarin, warga Anyer Dalam datang ke Jakarta untuk audiensi dengan Dirjen HAM di Kementerian Hukum dan HAM. Dirjen HAM menyatakan dukungannya pada warga Anyer Dalam dan menyatakan bahwa warga selaku pemegang hak tanah masih memiliki hak kepemilikan. Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam waktu yang dibutuhkan untuk mendapat dukungan dari Kementerian Hukum dan HAM, sudah banyak warga yang menyerah dalam perjuangan.
Perjalanan Panjang untuk Perjuangan
Dari 25 keluarga yang terancam digusur, kini 11 di antaranya sudah membuat perjanjian dengan PT KAI dan menyetujui penggusuran rumahnya. “Ya saya gak nyalahin juga, karena intimidasi dari PT KAI luar biasa, apalagi kan banyak warga yang sudah lansia,” tutur Pak Dindin. Tentu, berjuang dan membela diri melawan penggusuran yang terjadi memang sebuah hal yang menguras tenaga, baik secara fisik maupun mental. Pak Dindin dan Bu Eti bercerita bahwa ketika Polsuska dan Satpol PP datang beserta alat berat untuk meratakan rumah-rumah di Anyer Dalam, tidak sedikit orang tua serta anak-anak yang pingsan karena situasi mereka yang dipojokkan sehingga tertekan.
Namun, bagi Bu Eti, bagaimanapun Anyer Dalam adalah tempat beliau tumbuh. “Saya sedih di sini, senang di sini, masa terus dihancurkan rumahnya.” Maka, melihat tetangga-tetangganya yang berhenti berjuang, rasanya seperti bentuk pengkhianatan. “Ibu udah gak tau yang pindah pada ke mana, dan gak mau tau juga soal orang yang mengkhianati perjuangan,” pungkasnya. Pak Dindin dan Bu Eti kini menjadi bagian dari 14 keluarga Anyer Dalam yang masih kuat berjuang membela diri di hadapan PT KAI.
Pembelaan diri melawan perusahaan sebesar PT KAI bukan perkara mudah. Dengan berlinang air mata, Bu Eti bercerita soal kejadian saat rumahnya diratakan. “Beko-beko (ekskavator) itu datang ke depan rumah saya, dan saya berdiri di depan rumah. Saya hadang, sambil bawa cucu saya. Waktu itu masih 2 bulan. Masih merah. Saya bilang, kalau mau digusur, hadapi dulu saya, dan cucu saya!” Namun, tidak ada kompromi. Bu Eti tetap kehilangan rumahnya, dan harus memulai segalanya dari nol.
Sama pula dengan Bu Mediana, tetangga Bu Eti. Dengan iba, Pak Dindin dan Bu Eti menceritakan bagaimana Polsuska datang beserta ekskavator di hari Kamis. Bu Mediana langsung diancam akan digusur, tetapi ia memohon-mohon untuk menunda proses demolisi setidaknya hingga hari Sabtu, karena anaknya akan menikah. Makanan dan dekorasi semua sudah siap, tetapi tanpa berpikir dua kali, rumah Bu Mediana tetap dihancurkan. Bu Eti mencela, “Petinggi-petinggi KAI dan pejabat itu pendidikannya kan jauh lebih tinggi daripada ibu. Saya mah, cuman lulus SMA. Tapi kok bisa, mereka tetap melawan hukum dan gak punya perikemanusiaan?”
Harga yang Harus Dibayar
Melihat tekanan yang terjadi Anyer Dalam, saya tidak bisa melihat seberapa sepadannya keuntungan yang akan diraup Kota Bandung dari Laswi City Heritage, jika dibandingkan dengan kekerasan yang harus dialami warga. Melihat anak-anak kejar-kejaran di tengah reruntuhan rumah lamanya, dan melihat orang tua yang harus memutar otak demi memikirkan uang untuk membayar makan seminggu ke depan, saya rasa tidak ada orang yang pantas melewati itu semua. Pak Dindin bercerita, bahwa PT KAI melihat pembelaan warga Anyer Dalam sebagai bentuk arogansi. Namun, PT KAI datang ke Anyer Dalam setelah warga membangun komunitas yang berdikari selama 60 tahun lebih, dan tiba-tiba berniat menggusur demi pembangunan proyek. Bukankah itu lebih arogan?
PT KAI datang dengan sebuah proyek yang bahkan tidak menguntungkan masyarakat kecil dan ditujukan untuk hiburan masyarakat menengah ke atas. Tapi dalam prosesnya, yang terdampak selalu masyarakat kecil dan miskin – seolah keberadaan mereka hanya untuk dikorbankan demi pembangunan. Namun, sepertinya itu selalu menjadi permasalahan yang terjadi di Indonesia. Kesejahteraan masyarakat kecil dan miskin dikorbankan sebagai harga yang harus dibayar untuk ‘pembangunan’ dan ‘perkembangan ekonomi’ negara.
Editor: Rajendra Putra Pamungkas