Saya yakin tidak ada yang merencanakan bahwa 2020 akan menjadi tahun yang berbeda dan sejujurnya cenderung slow living ketika akhirnya pandemi Covid-19 menyerang tak hanya di dataran China dan Asia namun dengan cepat merebak ke seluruh dunia. Pencegahan demi pencegahan pun terus dilakukan yang mana salah satunya adalah pengurangan kegiatan di luar rumah dan memaksa hampir semua sektor baik usaha maupun pendidikan untuk melakukan kegiatannya dari rumah atau yang lebih beken disebut WFH.
Tentunya, awal-awal masa WFH sobat semua merasa bisa-bisa saja dan berpikir, “Ah paling juga 2 bulan kelar kok ini.” Naif sekali kita ini bahkan ketika tahun berganti, kegiatan cenderung masih begitu-begitu saja. Bangun, buang hajat, makan, kerja, makan, kerja dan seterusnya di dalam rumah. Alih-alih menjadi gila, tentunya kita semua mencari kegiatan alternatif kan? Dari yang serba viral seperti membuat dalgona atau beli iPhone agar tidak FOMO Clubhouse sampai yang memang kegiatan time spend seperti main game, nonton drakor dan lainnya. Sadar tidak sadar, salah satu kegiatan yang saya lihat mendadak naik di masa pandemi ini adalah orang-orang jadi kecanduan anime (sebutan untuk kartun jepang). Obrolan yang biasanya kamu temukan di acara atau unit berbau Jepang bisa kamu lihat sehari-hari, minimal seminggu sekali lah. Meme-meme anime terkini seperti AoT (Attack on Titan), The Promise Neverland dan lainnya marak mengisi lini masa. Musik anime jadi mudah diakses dan semua orang ngidam punya jubah scout legion.
Pertanyaan yang mungkin muncul di benak saya (dan mungkin para Normies): Kok pandemi malah jadi wibu?
Wibu: Terminologi, Nostalgia dan Stigma
Waktu saya putar agak mundur sedikit ke medio 2010-an awal, di masa ketika saya masih berpakaian putih abu. Sadar atau tidak, manga (sebutan untuk komik jepang) Attack on Titan sudah lahir dan tentunya hanya mereka yang memang “melek” terhadap kebudayaan Jepang yang mungkin sudah mengikutinya, dan tentunya saya juga ada di situ. Seingat saya, ketertarikan terhadap budaya manga ini memiliki tantangan tersendiri untuk tidak terlalu mencolok di dalam situasi sosial di masa itu karena ketertarikan terhadap hal tersebut seringkali memunculkan stigma negatif di dalam lingkungan orang-orang seumuran. Entah fanatisme yang berlebihan, introvert, hanya mau berkomunikasi dengan circle yang sama ketertarikannya dan kecenderungan untuk dikucilkan oleh mayoritas siswa di tingkat tersebut.
Padahal, generasi di rentang umur saya (yang lahir kurang lebih antara tahun 1992 – 1997) seharusnya secara alam bawah sadar memiliki ketertarikan terhadap kultur tersebut. Mengapa tidak? Setiap Minggu pagi anak-anak di umur tersebut pasti tidak sabar menonton Doraemon, Detektif Conan, Digimon dan lain sebagainya di akhir tahun 90an hingga pertengahan 2000. Pulang sekolah tak jarang ada Naruto diputar di televisi ataupun Yu Yu Hakusho jika kamu berkesempatan menontonnya sebelum diambil alih oleh si Mamah menonton sinetron. Space Toon pun saat itu masih diputar di frekuensi lokal, menambah variasi tontonan sebelum akhirnya resmi berpindah ke frekuensi satelit di akhir 2000-an. Maka, cukup aneh ketika akhirnya muncul ketakutan untuk mengkonsumsi subkultur Jepang baik dalam bentuk manga maupun anime atau media lain yang mana sedari dini mungkin kita sudah diperkenalkan.
Saya mencoba berkompromi dengan stigma yang masih melekat terhadap anime dan manga di Indonesia secara umum yang cenderung terkesan childish, kekanakan dan tidak untuk konsumsi dewasa serta keresahan yang barusan sempat diutarakan di atas. Media, sebagai saluran perkenalan awal, juga memang menyasar pasar anak-anak untuk konsumen mereka. Tak jarang, anime yang masih diputar di televisi pun mendapati cut demi cut untuk adegan yang tidak sesuai konsumsinya. Ambil contoh beberapa tahun lalu ketika Naruto mendapat somasi karena dinilai mengajarkan kekerasan pada anak-anak tapi di lain media, sinetron dengan bebas menampilkan konflik baik lisan maupun fisik dengan santainya. Sehingga, stigma subkultur tersebut pun setidaknya terpatri cukup dalam di masyarakat secara luas.
Ah, bicara soal terminologi sendiri. Kata “Wibu” mungkin baru saya dengar di tahun 2014 ketika sudah memasuki bangku kuliah. Dalam tatanan obrolan tongkrongan sendiri, wibu itu sesederhana ketika seseorang secara terbuka menyukai hal-hal berbau kreatif/subkultur Jepang. (Kalau suka makanan Jepang, secara tatanan tongkrongan sih si kamu bukan wibu.) Padahal, secara historis sendiri wibu berasal dari wee-a-boo yang muncul di forum AS di awal tahun 2000-an dulu. Pada awalnya sendiri, terms tersebut untuk mengolok-ngolok dan juga menggantikan kata ataupun kalimat yang refer to someone yang ingin sekali menjadi seorang Jepang yang cukup tulen (ini pun asumsi dan penjelasan yang saya rangkum dari beberapa sumber berita yang sudah ada dan juga dari knowyourmeme.com).
Namun, melihat jauh pada realita lapangan, bagi saya sendiri merasa patokan seseorang dicap wibu adalah ketika individu tersebut over fanatic yang tidak terbuka akan kritik yang sebetulnya sering kita temukan di subkultur lainnya. Hanya saja, dalam kasus wibu ini dia anti kritik terhadap subkultur Jepang dan merasa hal tersebut lebih superior daripada yang lainnya. Menurut saya, tidak ada salahnya seseorang menyukai kultur apapun selama dia tidak menjadi menyebalkan. Selain itu juga ada lagi istilah Otaku yang kadang disangkutkan atau disamakan dengan wibu. Padahal, otaku sendiri diartikan orang yang into terhadap sesuatu. Ya jatuhnya sih nerd cuman pakai bahasa Jepang saja. Jadi, saya rasa kalimat tersebut juga tidak serta merta membuat kita menjadi sensitif ketika mendengarnya dan menjadi alergi untuk mencoba mendalami subkultur tersebut.
Akses yang Melancarkan Segalanya
Waktu pun saya kembalikan lagi ke saat ini. Kenapa akhirnya banyak orang yang bisa relate terhadap subkultur ini? Kenapa meme-meme Levi adalah jodohku bertebaran di mana-mana? Jawabannya sederhana ternyata: Akses.
Platform mainstream seperti Netflix menurut saya menjadi trigger terbesar naiknya minat dan demand orang-orang terhadap anime. Netflix menjadi gateway pertama orang untuk menyelami lagi hal yang dulu selalu mereka tonton di televisi tiap Minggu pagi. Netflix sukses melakukan japanication dengan menghadirkan berbagai anime dengan kurasi yang mungkin tidak akan lulus sensor di televisi lokal. Kemudahan on demand selaras dengan perilaku dan gaya menonton orang-orang seumuran saya yang watch time-nya tidak menentu. Sambil makan siang? Bisa. Sambil buang hajat? Bisa. Sambil tipsy kelar mabuk? Bisa.
Faktor lain yang dibawa oleh Netflix adalah kurasi yang saya rasa dulu hanya hadir secara legal di Animax, kini bisa didapatkan dengan harga yang lebih murah daripada berlangganan televisi satelit dan mudah diakses bahkan dari smartphone. Bagi orang-orang yang tidak berkesempatan punya Indovision di rumah (termasuk saya sendiri), tentunya menonton Animax hanya bisa dilakukan jika punya teman yang terhitung tajir dan suka anime agar bisa nobar atau ketika ada kesempatan menginap di hotel berbintang. Itupun kalau orang tua tidak melakukan intervensi terhadap tontonan kita.
“Loh, tapi kan banyak website illegal?” Again, menurut saya di level Normies, untuk mengakses website bajakan demi menonton sebuah anime itu terhitung sebuah effort yang lumayan loh. Bayangkan saja betapa banyak pop up iklan dari yang biasa sampai yang semi vulgar (yang sering dijumpai di website bajakan) pasti membuat ogah orang untuk masuk. Maka, Netflix betul-betul menjadi oase yang sangat pas menjawab kehausan dan rasa nostalgia kebanyakan orang. Terlebih ketika sudah tidak ada masalah dengan provider plat merah dalam mengakses Netflix.
Maka, jangan salah ketika banyak orang mengisi waktu di masa pandemi ini dengan menonton anime. Saya pribadi merasa semoga hal ini tidak hanya trend sesaat tapi memang jadi bagian dari keseharian saja. Serupa ketika dulu kita bangun subuh di Minggu pagi. Hal ini juga saya harapkan menghilangkan stigma bahwa menyukai sebuah pop kultur suatu negara bukan berarti harus terasosiasi dengan sikap ataupun perilaku tertentu. Menurut saya, anime sendiri sudah memiliki banyak sekali kategori yang tak melulu urusan adu hantam. Kita bisa menangis menontonnya, marah dan merasakan perasaan kompleks lainnya. Metafora di dalam anime pun semakin beragam dan sangat sayang untuk dilewatkan hanya karena sebatas alasan “konsumsi yang kekanakan.” Toh, di tatanan tongkrongan pun membahas anime terkini sudah menjadi hal yang lumrah. Selain itu, banyaknya media mulai menggunakan topik berbau subkultur Jepang pun nyatanya sukses mendulang traffic. Coba saja cari spoiler One Piece di google, I dare you. Mendebatkan karakter A dengan B, keputusan karakter ini terhadap peristiwa itu dan hal yang relate terhadap cerita pun saya rasa masuk (kembali) ke lanskap obrolan sehari-hari. Sehingga, sadar atau tidak menikmati anime atau manga atau subkultur yang bercabangan pun sudah ternormalisasi kok pada akhirnya.
In the end, apakah pandemi benar membuat seseorang menjadi wibu? Itu saya kembalikan lagi ke pribadi masing-masing dalam menyikapi kata wibu itu sendiri. Yang pasti, pandemi sukses meningkatkan frekuensi kita mengkonsumsi anime maupun manga. Sampai di titik ini saya merasa teman-teman terutama yang merasa Normies dan mendadak sedang “ketagihan” nonton anime tak perlu gengsi dan takut ketika ada orang yang mengecap kalian sebagai wibu. Malah, kalau kalian jadi resistant dan menyebalkan malah semakin terbentuk stigma wibunya, kan? Itu tapi menurut saya ya. Embrace dulu aja hahahaha!
[…] Baca juga ‘Kok Pandemi Membuatku Menjadi Wibu ?’ […]