“Jika saya terus mencari yang lebih baik, suatu saat nanti pasti saya juga bakal ninggalin kamu. Saya harus punya komitmen”. Plak. Kalimat yang diucapkan oleh Agus (Ringgo Agus Rahman) kepada Lani (Nadia Saphira) di salah satu adegan film Jomblo ini rasanya memberikan tamparan keras untuk laki-laki atau perempuan di luar sana yang saat ini sedang menjalani hubungan.
Diadaptasi dari novel karya Adhitya Mulya dengan judul yang sama, film yang dibesut oleh Hanung Bramantyo ini menceritakan perburuan mencari cinta 4 (empat) remaja yang sedang berkuliah di Bandung. Aktor utama dalam film ini adalah Ringgo Agus Rahman yang memerankan karakter Agus, disusul oleh ketiga temannya Doni (Christian Sugiono), Bimo (Dennis Adhiswara), dan Olip (Rizky Hanggono).
Secara plot cerita, film Jomblo menghadirkan elemen-elemen yang sering kita jumpai di film-film drama pada umumnya. Perselingkuhan, cinta bertepuk sebelah tangan, seks, dan berebut perempuan dengan teman sendiri. Secara teknis juga biasa-biasa saja. Bahkan, di beberapa adegan, akting yang dilakukan masih terlihat kaku. Juga terdapat adegan yang terkesan dipaksakan.
Satu hal yang membuat film Jomblo menarik adalah ceritanya yang ‘dekat’ dengan kehidupan sehari-hari. Sifat, kebiasaan, sikap, dan pola pikir yang ditunjukkan oleh keempat sahabat tersebut sangat merepresentasikan manusia-manusia pada umumnya.
Selain karena ceritanya yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, Jomblo memberikan kesan mendalam untuk orang Bandung karena film ini mengambil latar tempat di kota Bandung. Memang, drama percintaan yang dihadirkan di film Jomblo bisa saja terjadi di kota manapun, namun, untuk sebagian orang yang hampir seumur hidupnya menjalani kisah cinta di kota Bandung, film ini memberikan nilai sentimental yang lebih.
Saya, contohnya. Dialog yang sederhana, pemilihan kalimat yang ‘apa adanya’, dihancurkan hatinya di pusat kota Bandung, melihat matahari terbit dari daerah yang tinggi, dan melirik-lirik perempuan di kantin membuat saya senyum-senyum sendiri saat menontonnya. Rasanya seperti saya yang sedang memainkan film tersebut.
Terlebih untuk mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) dan UNPAD (Universitas Padjadjaran). Adegan Agus yang bolak-balik Ganesa – Jatinangor demi menjemput Rita (Richa Novisha) tampaknya pernah sesekali dilakukan di kehidupan nyata oleh mahasiswa kedua universitas tersebut.
Walaupun di film ini nama kedua kampus tersebut disamarkan, tetapi untuk orang yang tinggal di Bandung pasti mengetahui jelas universitas yang dimaksud, hehehe.
Banyak sekali film drama Indonesia yang mengambil latar tempat di kota Bandung, Dilan contohnya. Namun, yang membuat saya kurang ‘dekat’ dengan Dilan adalah banyak sekali hal-hal mustahil yang kemungkinan terjadi di kehidupan sehari-hari. Dialog yang dihadirkan pun terasa ‘menggelikan’. Opini ini bukan berarti Dilan lebih jelek dibanding Jomblo, tetapi ini hanya masalah selera saja.
Kembali ke film Jomblo, rutinitas pacaran yang ditunjukkan di film ini juga sangat menggambarkan kehidupan sehari-hari remaja tahun 2000an, bahkan mungkin hingga hari ini. Seperti mengelilingi kota Bandung naik motor, nge-gebet perempuan di kampus lain, telfon-an hingga larut malam, makan di pinggir jalan, dan menemani pacarnya belanja. Kehangatan setiap adegan ini semakin spesial ketika para pemeran menambah aksen kental Sunda di setiap dialognya.
Tidak hanya rutinitas pacarannya saja, film Jomblo juga memperlihatkan stelan khas remaja pada waktu itu. Rambut rancung nanggung, celana jin gombrang, kaos ketat, motor ‘jadul’, dan tempelan poster di kamar menjadi detail tambahan yang membuat film ini semakin ‘dekat’ dengan siapapun yang menontonnya.
Selesai berbicara soal manisnya, kini mari bicarakan pahitnya. Untuk sebagian orang, kota Bandung memberikan pengalaman yang jahat jika berbicara soal cinta. Ini juga terjadi kepada Olip di film Jomblo. Penantian 3 tahunnya untuk mengejar Asri (Rianti Cartwright) dihancurkan dalam sekejap oleh sahabatnya sendiri, Doni.
Patah hati, ‘ditikung’ oleh sahabat sendiri, dan adu jotos karena cinta rasanya menjadi pengalaman yang lumrah dirasakan oleh, setidaknya, lingkungan terdekat saya. Sekali lagi, penggambaran ini terasa spesial untuk orang Bandung karena film ini mengambil latar tempat di kota Bandung. Singkatnya, mungkin orang Bandung yang menonton film ini akan mengucapkan, “Oh, baheula urang siga kieu oge. Sarua deui tempatna!” sepanjang film.
Satu-satunya yang saya kurang suka dari film ini adalah banyak sekali ‘lubang’ dalam plot ceritanya. Ending-nya pun tidak begitu memuaskan. Namun, persetan dengan semua hal itu. Tulisan ini sedari awal tidak ditujukan untuk membahas baik-buruknya sebuah film.
Film Jomblo merupakan penggambaran sempurna tentang segala drama percintaan di kota Bandung, setidaknya untuk saya. Rasanya sudah terlalu lama tidak ada film yang memiliki tingkat ke-’dekat’-an seperti yang diberikan oleh film Jomblo. Setiap orang memiliki ceritanya masing-masing terkait dengan kota ini. Pahit, manis, asin, asam, siapa yang peduli? Toh, pengalaman-pengalaman itulah yang membuat kita sekarang menjadi lebih dewasa dan lebih ‘hidup’.
Sepertinya mustahil jika kita mengatakan kita tidak pernah selingkuh seperti Agus, merebut perempuan idaman sahabatnya sendiri seperti Doni, gugup di depan gebetan kita seperti Bimo, dan ragu untuk melangkah lebih jauh seperti Olip. Kita semua pernah menjadi seperti mereka, atau setidaknya, kita semua punya sahabat yang seperti mereka.
“Lihatlah semua sudut itu, Bandung ‘kan selalu memelukmu. Dinginnya hangatkanmu selalu”. Penggalan lirik lagu Ini Abadi dari grup musik Perunggu rasanya tepat untuk menutup tulisan ini.