Media atau pers senantiasa mengisi alur informasi-komunikasi dalam kehidupan manusia di era kekinian,zaman kian berganti inovasi jamak bermunculan untuk menyelaraskannya;sesuai dengan fungsi serta kaidahnya. Jurnalistik menunjuk pada proses kegiatan pers;jurnalistik adalah kegiatan yang memungkinkan pers atau media massa bekerja dan diakui eksistensinya dengan baik.Dilihat dari segi bentuk dan pengelolaannya , jurnalistik dibagi menjai tiga bagian besar : jurnalistik media cetak (newspapaer and magazine journalism), jurnalistik media elektronik audutif (radio broadcast journalism, jurnalistik media audiovisual (television journalism)[1].
Ketiga bentuk pers ini—-ditambah dengan hadirnya media online— yang berperan dominan dalam sistem komunikasi Indonesia untuk menyebarkan informasi seluas-luasnya dan bertanggung jawab. Kemajuan zaman kian tak terbendung;kebutuhan masyarakat akan informasi pun semakin bertambah. Misalnya : bidang kesehatan , bidang pendidikan , bidang ekonomi. Efisiensi dan kecepatan informasi menjadi gandrung apalagi dengan hadirnya masyarakat ekonomi asean (MEA).
Banyak berdirinya media baru adalah efek dari kemajuan zaman , dimana media menjadi industri yang ‘renyah’ untuk digeluti dewasa kini. Korporasi-korporasi pun tak kalah gesitnya;korporasi banyak menitip saham—lewat advertising atau iklan— dengan kontrak yang menggiurkan. Tentunya media takkan menampik tawaran dari pihak korporasi tersebut.
Namun , fenomena ini tak serta merta meninggalkan tanpa celah , hal itulah kemudian yang mendorong lahirnya kapitalisme dalam ekonomi dan demokrasi dalam bidangpolitik[2].Sistem pers liberal lahir dari realitas sosial di Indonesia. Para konglomerat bahkan politikus—masa kini—mempunyai media massa.Ada kekhawitran tersendiri pada kondisi ini , pers terancam pula kebebasannya.
Mengapa kebebasan pers tercancam? Momentum seperti ini sangat rentan menggunakan media sebagai propaganda-propaganda mereka—konglomerat dan politilkus , fungsi pers yang sahihnya sebaga lembaga media massa , lembaga sosial pun di hilangkan dari esesnsinya. Bukan hanya itu saja pelanggaran kode etik pun ramai dilakukan oleh media massa yang ditunggangi oleh para taipan.
Lihat dalam Undang-undang pers No. 40 tahun 1999 , mengenai asas , fungi , hak , kewajiban dan peranan pers : Pasal 2) Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.Pasal 3) 1)Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.2)Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Media partisan misal , MNC Group , Metro Tv serta Bakrie Group: jika kita melihat di tiap tayangan masing-masing stasiun televisi. Mereka menayangkan atau mempropagandakan ‘kendaraan politik’ yang di usung oleh si pemilik modal tersebut, tentulah ini melanggar Undang-undang pers No. 40 Tahun 1999 pasal 2). Tidak adanya nilai demokrasi dalam informasi yang didapat dan lebih memprihatinkan rakyat di suguhi tayangan yang tidak sehat.
Fenomena sinetron (simema elektronik) akhir ini yang menjadi ‘primadona’ selalu ditunggu-tunggu oleh jutaan pasang-mata di Indonesia.Membawa dampak negatif pula , sebagaimana kita ketahui media dengan mudah mengonstruksi pikiran khalayak.
Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat menakutkan” . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari”.2 [3]
Tak jarang pula yang tersihir oleh ‘magis’ sinetron lokal maupun impor diminati kalangan mayoritas penduduk Indonesia. Contoh : perubahab sikap seorang bocah dibawah umur yang ingin membeli motor ninja setelah menonton sinetron ‘Si Anak Jalanan’; sinetron impor ‘Utaran’ mereduksi psikis seorang remaja putri karena ingin memiliki kekasih orang India. Melihat banyak fenomena ini pihak dari KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia) belum melakukan tindak tegas atas apa yang terjadi dengan masyarakat.
Media sosial , kini sangat digemari masyarakat Indonesia. Khususnya para kaula muda gemar mengaktualisasi dirinya di jejaring sosial. Mengunduh foto atau sekedar mencari gebetan intrik-intrik seperti itu sangat lumrah terjadi kepada anak muda—karena sedang dalam proses jati diri. Banyak pemanfaatan dalam pengunaan sosial media : membuka usaha online , mempermudah dalam proses akademis dan lain sebagai-nya.
Ada kiasan yang mewakili Boomingnya , “ Yang jauh menjadi dekat , yang dekat menjadi jauh’’. Pemandangan ini sangat mudah di temukan ketika di beberapa tempat, seperti rumah makan , sekolah , kendaraan umum bahkan di rumah sekalipun. Mengapa bisa terjadi? Invasi besar-besaran perusahaan telepon selular menjamur dimana-mana, perilaku konsumerisme (masyarakat) yang mudah terpengaruh pangsa pasar menjadi salah satu faktor.
Masing-masing orang sibuk menggunakan telepon genggamnya,terjadi segmentasi di lingkup sosial—dimana interaksi sering di media sosial. Pola kehidupan masayarkat contoh sederhana : sebelum makan dengan mengunggah hidangan di akun media sosial, padahal sedari masa kanak-kanak sebelum makan ‘dibiasakan’untuk berdoa. Kebudayaan ‘modern’ tercipta akan hadirnya telepon genggam beserta kecanggihannya yang ‘menyihir’ mata dan psikis penggunanya.
Slogan ‘ dunia dalam genggaman’ sungguhlah terjadi dalam realitas sosial kekinian bahkan pembaca koran makin sedikit berhubungan dengan oplah cetakan semakin sedikit jumlahnya;pembaca lebih berminat pada media online daripada koran. Perusahaan media cetak( Koran , tabloid dan majalah) mengandalkan pengahasilannya melalui kolom advertising (periklanan) — diukur berapa besar jumlah barisnya. Segelintir fenomena yang terjadi dalam Sistem komunikasi Indonesia dimana peran media terpelintir oleh ekonomi kapital dan saat ini orang-orang mempertanyakan integritas media. ‘adakah informasi yang mengedukasi , menghibur terpenting fungsi kontrol sosial menjamin ‘demokrasi’ dalam bidang informasi dan komunkasi’?
Pembuatan media-media alternative harus diadakan,agar menghalau segala bentuk propaganda (politik dan perubahan perilaku)‘serta dirasa menjadi candu ‘ bagi masyarakat Indonesia. Peran-nyabagai pelita yang mengahangatkan bumi pertiwi tentulah masyaraka tmembutuhkan informasi dan sarana komunikasi yang memenuhi unsur demokarasi;media memiliki nilai netralitas yang riil atau sekadar menyampaikan ‘curahan hati’ kepada penguasa terlebih orang terkasih lewat sajak-sajak lucu nan menggelitik.
Negeri ini sungguhlah krisis akan informasi yang mencerdaskan ,pengedukasian dan kritisisme diperlukan pada setiap informasinya. Para kaum muda (tentunya) , orang-orang melek akan kondisi media harus mengambi lsikap,jangan biarkan ‘media menjadi candu bagi penguasa’ karena akan lebih mudah mempersuasi khalayak;jangan biarkan khalyak ‘menjadi candu bagi penguasa’ karena tanpa daya kritis manusia akan lumpuh eksistensinya.
‘’Whoever controls the media, controls the mind’’. Jim Morrison. Pesan terbentang dari ujung Los Angeles menyiratkan bahwa siapapun yang terkontrol oleh media akan terkontrol pula pemikirannya. Manusia-manusia menjadi ‘makhluk tanpa akal’ yang tidak bisa menyaring keluar-masuknya informasi dan akan terjadi kericuhan dimuka bumi komunikasi adalah kebutuhan dasar manusia.
Penulis : Rinaldi Fitra Riandi
[1] Drs. AS Haris Sumadiria M.Si. , Jurnalistik Indonesia : Menulis Berita dan Feature , (Bandung, PT. Rosda Karya , 2016)h.2-4
[2] Prof .DR.Anwar.Arifin , Sitem Komunikasi Indonesia , ( Bandung , PT Remaja Rosdakarya , 2011) h.58