“Bandung itu nggak pernah kehabisan musisi keren”. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh Vai, basis sekaligus produser dari grup musik The Couch Club. 

The Couch Club saat ini menjadi komoditas yang menarik di industri musik. Angin segar untuk industri musik ini dimulai sejak tahun 2020. Saat itu, Vai diundang oleh salah satu kanal YouTube Small Space dan memutuskan mengumpulkan beberapa orang untuk bergabung dalam projek yang akhirnya membentuk The Couch Club. 

Digawangi oleh Vai, Atria, Ghifari, dan Belva, mereka menyebut The Couch Club sebagai grup musik hip-hop dan RnB eksperimental. Dua tahun berkarya, The Couch Club sudah merilis 3 (tiga) single: “Dawn” (2020), “Beacon” (2021), dan “Out of Love” (2021). 

Selain itu, grup musik yang berada di bawah naungan Microgram ini juga memproduksi EP hasil kolaborasi dengan grup musik Bleach yang berjudul “INTERMEZZO (THE BLEACH CLUB) yang dirilis di tahun 2021. Terkini, mereka juga merilis single berjudul “Throw It All”, hasil kolaborasi dengan White Chorus dan BLEU HOUSE. 

Munculnya The Couch Club di industri musik, terutama di kota Bandung, tentunya memberikan pernyataan keras terkait perdebatan tentang industri musik Bandung yang tidak se-ramai dulu. “Bandung sekarang rame lagi nih, setelah beberapa tahun sempet melempem. Band-band baru juga aktif lagi sekarang.” ucap Vai. 

Menanggapi video yang sempat ramai beberapa waktu lalu terkait hal yang sama, Prama, penggebuk drum dari grup musik Lamebrain yang saat itu sedang berada di lokasi juga mengatakan, “Ya… Mereka selama ini dimana? Main coba sini ke Bandung”. Pernyataan ini tentunya diamini oleh musisi-musisi di kota Bandung. Kami pun sebagai salah satu media di kota Bandung merasakan hal yang sama. 

“Mungkin referensi (musisi Bandung yang sekarang) mereka sedikit kurang, atau mereka hanya mendengarkan musik-musik dari angkatan mereka saja” sambung Vai. Situasi dan kondisi terkait industri musik kota Bandung memang cukup rumit. Kita semua sepakat bahwa pandemi menjadi faktor besar mengapa musisi-musisi dari Bandung jarang terdengar lagi di kota-kota lain. 

Selain pandemi, Prama juga menyebut bahwa pegiat-pegiat musik nasional banyak yang berdomisili di Jakarta. Maka dari itulah, musisi Bandung sedikit susah untuk dilirik oleh orang-orang di luar kota Bandung. Yang disayangkan adalah jika kita kembali ke dekade 2000an, banyak sekali pemerhati atau pegiat musik yang turun ke kota-kota lain selain Jakarta untuk mencari musisi yang bertalenta. Mereka semua bahu membahu untuk menghidupkan industri musik nasional. 

Inilah yang tidak terjadi di era sekarang. Beberapa pelaku di industri musik seolah-olah hidup di bubble-nya mereka sendiri. Asik sendiri di lingkungannya. Kalau keadaannya seperti ini, rasanya tidak adil untuk saling lempar ‘bola panas’ dan mengomentari musisi-musisi lain yang tidak berada di lingkarannya mereka. 

Namun, Bandung saat ini perlahan mulai menunjukkan lagi taringnya. Generasi saat ini dan selanjutnya akan bergantung kepada, salah satunya, The Couch Club. “Tentunya kita akan terus berkarya. Akan tetapi, kita juga nggak mau munafik kalau seni itu memang ‘musiman’ dan realistisnya saat ini, kita tidak bisa hidup dari satu mata pencaharian saja” ucap Vai. 

Untuk merangkum hasil ngobrol-ngobrol singkat kami dengan The Couch Club, kita semua tentunya memiliki harapan bahwa musisi-musisi dari Bandung bisa dilirik kembali. Hanya ngomong saja tetapi tanpa terjun langsung ke lapangan rasanya tidak bisa memberikan bukti apa-apa bahwa pernyataan ‘Musik Bandung sekarang sepi’ itu benar adanya. Mereka ada dan mereka berkarya. 

Semoga tulisan ini dapat mencerahkan seluruh pelaku kreatif, khususnya musik, bahwa kota Bandung masih terus melahirkan musisi-musisi berkualitas.

Tentunya salah satunya adalah The Couch Club. 

Tetap semangat untuk Vai, Ghifari, Belva, dan Atria. Perjalanan bermusik kalian masih panjang!

Simak artikel-artikel lainnya dari kami di sini, Junkies!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here